Kisah Max Havelar di Simposium Festival Seni Multatuli 2019 Hari Pertama

1271 Views

Kisah Max Havelar membawa saya kembali ke Kota Rangkasbitung,  Lebak pada hari Rabu (11/9/2019). Dimana saya akan lebih mengenal perkembangan Lebak dari tahun ke tahun.


Aula Multatuli yang berada di Setda Kabupaten Lebak menjadi lokasi simposiun ini di selenggarakan. Tema yang di bahas tentang  "Membaca Ulang Max Havelar". Simposium ini diadakan selama dua hari,  11-12 September 2019


Para peserta simposium mendapat buku mengenai tema yang akan kita bahas. Melihat editor dari buku ini tentunya saya tidak salah lagi yakni Niduparas Elang yang saya kenal ketika saya mulai register di awal acara dan berkenalan dengan beliau. Orang asli dari Kota Serang yang mendukung terselenggara simposiun ini.


Sebelum acara di mulai saya dapat melihat kesenian khas dari Lebak dengan musik terbuat dari bambu dengan nyanyian kidung masyarakat Lebak.  Pakaian serba hitam menjadi ciri khas yang sangat dominan dan ikat kepala.



Pembicara simposiun di sesi pertama adalah Yusril Fajar seorang dosen dari Universitas Brawijaya yang mengambil desirtasi S2 di universitas di Jerman dan Peter Carey,  orang profesor berwarga negara Inggris yang juga peneliti tentang Perang Jawa "Pangeran Diponegoro " di abad ke 18 serta Profesor Tamu Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Fellow College Oxford


Yusril Fajar mengambil bahasan,  "Mendua di Hindia Belanda : Ambivalensi dalam Novel Max Havelar Karya Multatuli"

di antaranya tentang,

Legitimasi Kekuatan dan Kontruksi Citra Kolonial Belanda.

Antara Inferioritas dan Superioritas Pribumi.


Selanjutnya Peter Carey membahas,  "Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830-1870 dan Sang Algojo Kolonialisme : Max Havelar (1860) dalam konteks Sejarah Jawa di Abad ke-19" diantaranya tentang,

Sistem Tanam Paksa (1830-1870) dan Konteks Peristiwa Lebak.

Dampak Sistem Tanam Paksa (1830-1870) pada masyarakat Jawa

Reformasi Sistem Tanam Paksa antara 1848 dan 1870


Para pembicara sesi pertama ini,  sangat setuju sekali,  jika kita perlu mengembangkan literasi mengenai Multatuli dari berbagi sisi yang dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Sehingga akan mendapatkan nuansa akar budaya asli Nusantara.


Setelah ISHOMA (istirahat, sholat dan makan) dilanjutkan sesi kedua pada jam 13.00 dan sambil menunggu para pembicara,  tentunya saya membahas bersama dengan peserta yang lain. Peserta yang hadir di sediakan kudapan dan makan siang saja,  minuman harus membawa tempat minum sendiri supaya tidak meninggalkan sampah plastik sehingga panitia hanya menyediakan botol galon air mineral.



Simposium hari pertama sesi kedua ini di isi oleh pembicara,  Ruth Indiah Rahayu, Peneliti Inkrispena dan Lisabon Rahman yang merupakan praktisi pelestarian film


Lisabon dalam bahasan di simposiun ini tentang, "Film Max Havelaar : Terjemahan Mosaik Tulisan ke Dalam Gugatan Sibematik." Buku Max Havelaar-nya Multatuli diadaptasi sebagai film realis dengan bumbu suspense (ketegangan) yang sangat kompleks tapi halus dan sedap mengalir.


Tentang konteks pembuatan film Max Havelaar dengan subjugation "of dengan koffieveilingen der Netherlandsche handeksmaatschappij". Sementara dalam bahasa Indonesia judulnya menjadi Max Havelaar (Saijah dan Adinda).


Dilanjutkan oleh penalis berikutnya Ruth Indah Rahayu yang membahas,  "Membaca Kembali Multatuli : Pertarungan Etis Abad ke-19 tentang Kapital Keadilan Sosial dan Perempuan."  Membaca kembali Max Havelaar pada saat ini,  adalah membaca tentang sebuah sejarah pemikiran yang dikemukan oleh Eduard Douwes Dekker (Multatuli).



Pada akhir simposiun ini,  peserta masih antusias mendengarkan penjelasan narasumber dan juga memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat interaktif dari tema ini dan tentunya dapat di pahami akan kisah Multatuli dengan Max Havelaar nya. Kisah ini dapat saya renungkan kembali di atas KRL (Kereta Rel Listrik)  Rangkasbitung - Tanah Abang untuk kembali pulang. Sampai ketemu besok di hari kedua simposiun. (sob_tdb) 



Comments

Signin Signup